Blogger Widgets

JAM

Minggu, 22 April 2012


Presiden Anggap Pembahasan Kenaikan BBM
Sangat Politis

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

Jakarta–Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai, pandangan dan pembahasan tentang kemungkinan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat politis. Bahkan, segala sesuatunya sering dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama menjelang pemilu 2014.

“Hal ini sebenarnya tidak salah, tetapi apabila sangat politis dan terlalu politis, maka pembahasan dan pemikiran bisa kurang objektif dan kurang rasional,” kata Presiden, dalam keterangan pers seusai memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakart, Sabtu, 31 Maret 2012.

Seperti dikutip dari website setkab.go.id, Sidang Kabinet yang diikuti oleh seluruh menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, Panglima TNI Laksama Agus Suhartono, Kapolri Jendral Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Anggota Wantimpres, dan Staf Khusus Preside ini membahas keputusan DPR terkait pengesahan APBN-P 2012, yang di dalamnya memberi ruang bagi Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam kondisi tertentu.

Menurut Kepala Negara, tidak pernah ada Presiden dan pemeritahan yang dipimpinnya di Indonesia, yang menaikan harga BBM tanpa alasan dan pertimbangan yang seksama.
“Sejak Indonesia merdeka, sejarah mencatat, telah 38 kali kenaikan BBM. Di era reformasi terjadi 7 kali, termasuk di era Presiden Gus Dur dan era Presiden Megawati,” kata SBY.
Dalam era pemerintahan KIB yang dipimpinnya yang telah berjalan hampir 8 tahun ini, kata Presiden, telah 3 kali terjadi kenaikan harga BBM dan 3 kali pula penurunan harga BBM.
“Saya yakin, setiap Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya, menaikan BBM itu pasti bukan untuk menyengsarakan rakyatnya,” ujar Kepala Negara.

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah, menurut SBY, salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

“Itu salah satu kebijakan yang mungkin diberlakukan manakala kita menghadapi tekanan ekonomi yang begitu berat,” tegas Presiden.

Diakui SBY, rencana penyesuaian harga BBM mendapatkan protes dari berbagai kalangan disertai aksi-aksi unjuk rasa di banyak tempat.

“Saya menilai bahwa sering kurang dipahaminya konteks dan alasan mengapa ada pikiran untuk menyesuaikan harga BBM kita,” ujar Presiden.

Lebih lanjut Kepala Negara mengatakan, pemerintah akan terus memikirkan dan mengembangkan sejumlah kebijakan dan upaya khusus dalam mengantisipasi permasalahan menyangkut postur APBN-P 2012, antara lain kebijakan penghematan energi dilakukan secara sangat serius di seluruh Tanah Air, sehingga menjadi gerakan nasional.

Penerimaan negara yang masih bisa dioptimalkan, tambah Presiden, akan dibuat meningkat, misalnya penerimaan dari pajak dan pertambangan.
Penghematan anggaran kementerian/lembaga termasuk anggaran daerah, juga harus benar-benar dilakukan.
“Kita tidak ingin sesuatu yang membikin kokohnya makro ekonomi kita, terganggu manakala kita keliru dalam menetapkan defisit,” tambah SBY. (*)




Episode Kenaikan BBM ke-Sekian
“APBN Turun, Rakyat yang Menanggung?”

Drs. H. M. Jusuf Kalla menjelaskan: “kenaikan yang terjadi pada BBM tidak akan mempengaruhi inflasi terlalu besar. Justru subsidi ini akan dapat dialokasikan untuk kegiatan lainnya : seperti perbaikan infrastruktur dan pemberian modal usaha untuk rakyat. Jika harga BBM tidak dinaikkan, harga BBM yang murah justru akan dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Dulu saat kenaikan terjadi 120 % masyarakat tidak terlalu banyak protes, kenapa sekarang yang hanya 30 % saja sampai terjadi penolakan besar-besaran.”

Statement ini disampaikan oleh Moh. Jusuf Kalla saat mengisi kuliah umum pelantikan lembaga mahasiwa Universitas Diponegoro pada hari selasa, 27 Maret 2012, pukul 10.00 WIB di gedung Soedharto yang bertemakan “Pemuda, Mahasiswa, dan Pembangunan Nasional”. Pernyataan tersebut disampaikan beliau untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang mahasiswa tentang pendapat pribadi Moh. Jusuf Kalla terhadap kebijakan pemerintah tersebut.

Dalam hal ini tercermin bahwa memang berita tentang rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan pada awal april telah menyita perhatian publik secara besar-besaran. Tidak hanya dari elemen masyarakat, tetapi juga dari para elemen mahasiswa yang menyatakan penolakan besar-besaran. Bahkan telah banyak kajian yang dilakukan untuk menganalisis efek positif dan negatif yang akan terjadi dari kebijakan tersebut. Diantaranya yaitu seberapa besar kenaikan nilai APBN jika kenaikan BBM sebesar 30 % tersebut dilakukan. Kemudian apakah sektor yang paling utama mempengaruhi kenaikan anggaran APBN adalah subsidi BBM. Lantas berapa besar pajak yang diterima pemerintah sebagai pemasukan APBN itu sendiri? Berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk melakukan beberapa renovasi sarana wakil rakyat yang sebenarnya itu masih sangat layak digunakan?

Dari penjelasan salah seorang anggota DPR (diluar perannya sebagai politikus salah satu partai) menjelaskan: “Selama ini pemerintah beralasan salah satu penyebab kenaikan harga BBM ialah subsidi BBM untuk rakyat, namun jika menggunakan data dari RAPBN 2012 yang disampaikan pemerintah kepada DPR ternyata ada penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp54 triliun, kemudian pajak perdagangan internasional Rp5 triliun. “Nah, jika kebutuhan subsidi itu maka pemerintah harus tambah Rp55,1 triliun. Maka Rp59 triliun dikurangin Rp55,1 triliun maka itu pun masih surplus sekitar Rp3,9 triliun, itu salah satu contohnya yang tidak disampaikan ke rakyat.” Dari data tersebut terlihat sekali bahwa sebenarnya subsidi BBM bukanlah penyebab utama kenaikan APBN.

Dampak terbesar yang akan terjadi bukanlah terdapat pada mampu atau tidaknya masyarakat untuk membeli BBM sejenis premium, tetapi lebih kepada efek domino yang langsung berimbas pada rakyat kecil. Jika para elit politik mengatakan bahwa kenaikan sebesar RP.1500 itu masih bisa ditanggulangi dengan mengurangi pengeluaran yang tidak penting, lalu apakah para wakil rakyat juga mau berkorban sedikit untuk tidak bermewah-mewahan? Dan lagi-lagi pasti rakyat kecil lah yang notabennya harus mencari sesuap nasi dengan bersusah payah terpaksa menambah pengeluaran sebesar Rp. 1500 tersebut untuk sekedar membeli beras. Kita ingat bahwa “Subsidi merupakan tanggung jawab Negara”. Negara kita bukan kapitalis, tetapi negara Indonesia yang berasaskan pancasila, dimana “kepentingan hajat hidup rakyat banyak harus dibantu dan dipenuhi atau disubsidi negara.” Lantas mengapa harus rakyat kecil yang menanggung dampaknya secara langsung?

Di samping itu, jika kita menyadari akan kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia terhadap minyak bumi sangatlah besar. Akan tetapi pengelolaannya masih dikuasai asing. Dimana keuntungan dari penambangan tersebut hanya mencapai 20 % yang masuk kepada pemerintah. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa kebijakan ini melanggar konstitusi Negara dimana “Bumi dan Sumber Daya Alam lainnya dikuasai pemerintah dan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat”, sudah jelas bahwa kekayaan yang ada di bumi terutama BBM adalah hak rakyat Indonesia untuk menikmatinya. Bukan berarti rakyat kecil yang harus menanggung dampak kenaikan pembengkakan APBN tersebut yang sebenarnya disebabkan oleh sektor lain.
Jika memang pemerintah masih memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan kebijakan tersebut yang jelas-jelas ditolak rakyat, lalu apakah transparansi terkait besaran penurunan APBN serta hasil perhitungan pemerintah terhadap kenaikan APBN dengan mencabut subsidi BBM sudah di jelaskan. Jika masih dalam batas kira-kira, apa iya republik ini akan dijadikan republik kira-kira? Sementara nasib rakyat miskin yang jadi jaminannya?


Lima Penyebab Rencana Kenaikan BBM Kisruh
Keinginan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sedianya awal April kandas. Sidang Paripurna DPR, lembaga yang memberikan persetujuan, menolak untuk mencabut satu pasal yang memuat larangan bagi pemerintah menaikkan harga BBM. Mengapa kisruh?

Hasil rapat hingga menjelang pagi di akhir minggu kemarin itu dikawal aksi mahasiswa bersama masyarakat di banyak kota. Mereka berunjuk rasa menolak kenaikan. Akhirnya, di Gedung DPR, diperoleh langkah kompromi. Satu klausul muncul: jika dalam enam bulan harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen dari harga patokan US$ 105 per barel, pemerintah dipersilakan menaikkan harga.

Kelahiran Ayat 6A dalam Pasal 7 itu menuai kekisruhan baru. Yakni, digugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran dianggap ilegal, sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang menyatakan tidak boleh ada kenaikan BBM. Prosedur kelahirannya juga ikut dipersoalkan.
Di luar itu, yang menarik dan seringkali menjadi pertanyaan, adalah sikap pemerintah dalam mengambil keputusan penting. Sepertinya tidak direncanakan dengan matang, dan cenderung sembrono. Kasus BBM bersubsidi ini dengan jelas memperlihatkan hal itu.

Pertama, tampak pada pengumuman awal. Pemerintah seperti selalu disuarakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo, ingin melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sejak Januari isu ini sudah ramai. Tapi yang resmi diusulkan justru kenaikan. Kebijakan yang ingin diambil sebagai respons atas kenaikan harga minyak mentah dan beban anggaran tidak konsisten.

Kedua, jeda respons kebijakan terkait situasi yang ada - dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah -, biasa disebut inside lag, terlalu lama. Dari Desember (mungkin juga sebelumnya) sudah dikaji, tiga bulan kemudian baru diusulkan. Tragisnya, isu ini 'digoreng' oleh pemerintah, mungkin dengan maksud sosialiasi.
Apapun maksudnya, jelas menibulkan reaksi buruk. Penimbunan marak. Suara menentang, mengingat isu ini sangat seksi, terus terkonsolidasi sampai akhirnya memuncak. Pada situasi yang tidak menguntungkan itu, partai anggota koalisi pendukung pemerintah pun balik badan. Sejatinya kemungkinan ini sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga punya persiapan matang.

Ketiga, penjelasan yang tak lengkap. Kontroversi perhitungan angka subsidi mencuat dari milis ke milis, bahkan menjadi konsumsi media arus utama. Tak ada penjelasan detai dari pemerintah, yang kemudian memunculkan hembusan isu ada 'sesuatu' yang disembunyikan dalam perhitungan.
Ketika Departemen Energi mengklarifikasi lewat situs resminya, angka besaran subsidi dalam versi tersebut Rp 2.400 per liter atau totalnya Rp 96 triliun. Sementara yang diajukan oleh pemerintah Rp 104 triliun. Mungkin hitungan keduanya benar, namun perbedaan angka pada Departemen Energi dan Departemen Keuangan itu justru menambah amunisi penolakan, mengingat adanya informasi yang tidak simetrik atau setara antara pemerintah dengan publik. Di sini, soalnya adalah koordinasi.

Keempat, ada respons panik dan berupaya 'buang bola' ke pihak lain. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah melempar pernyataan bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, pernah mengusulkan kenaikan BBM Rp 2.000 per liter. Sikap ini tidak elegan, tak semestinya hasil rapat pimpinan tertinggi partai koalisi dengan Presiden sampai keluar.
Ini soal etika, yang akhirnya berbuah buruk. Kekisruhan makin menjadi-jadi. Golkar bereaksi dengan pernyataan menolak kenaikan BBM. Peran Ketua Fraksi Demokrat diambil alih Anas Urbaningrum, Ketua Umum. Jafar Hafsah sendiri disitirahatkan di luar 'lapangan'.

Kelima, tampak argumen pemerintah untuk publik tentang rencana kenaikan BBM tidak matang. Suara pendukung kenaikan BBM seragam. Mereka hanya punya satu dalil, yaitu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga BBM subsidi harus naik. Tapi logika setelah itu, tidak begitu baik sampai ke masyarakat.
Boleh jadi pemerintah begitu percaya diri dengan usulannya, setelah ada kesepakatan dengan partai koalisi. Sehingga cenderung meremehkan daya serap masyarakat terhadap informasi yang berkembang. Semestinya ini suatu pelajaran berharga. Rakyat pun bisa jeli dan kritis.
Mungkin dalam kasus mirip ini kelak, tak salah juga jika sekadar mengingat pesan Jenderal Tsun Zu, ahli strategi perang dari China: Jika Anda jauh dari musuh, buatlah musuh percaya bahwa (posisi) Anda begitu dekat dengan mereka.

TUGAS 3

Presiden Anggap Pembahasan Kenaikan BBM
Sangat Politis

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

Jakarta–Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai, pandangan dan pembahasan tentang kemungkinan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat politis. Bahkan, segala sesuatunya sering dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama menjelang pemilu 2014.

“Hal ini sebenarnya tidak salah, tetapi apabila sangat politis dan terlalu politis, maka pembahasan dan pemikiran bisa kurang objektif dan kurang rasional,” kata Presiden, dalam keterangan pers seusai memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakart, Sabtu, 31 Maret 2012.

Seperti dikutip dari website setkab.go.id, Sidang Kabinet yang diikuti oleh seluruh menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, Panglima TNI Laksama Agus Suhartono, Kapolri Jendral Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Anggota Wantimpres, dan Staf Khusus Preside ini membahas keputusan DPR terkait pengesahan APBN-P 2012, yang di dalamnya memberi ruang bagi Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam kondisi tertentu.

Menurut Kepala Negara, tidak pernah ada Presiden dan pemeritahan yang dipimpinnya di Indonesia, yang menaikan harga BBM tanpa alasan dan pertimbangan yang seksama.
“Sejak Indonesia merdeka, sejarah mencatat, telah 38 kali kenaikan BBM. Di era reformasi terjadi 7 kali, termasuk di era Presiden Gus Dur dan era Presiden Megawati,” kata SBY.
Dalam era pemerintahan KIB yang dipimpinnya yang telah berjalan hampir 8 tahun ini, kata Presiden, telah 3 kali terjadi kenaikan harga BBM dan 3 kali pula penurunan harga BBM.
“Saya yakin, setiap Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya, menaikan BBM itu pasti bukan untuk menyengsarakan rakyatnya,” ujar Kepala Negara.

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah, menurut SBY, salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat.

“Itu salah satu kebijakan yang mungkin diberlakukan manakala kita menghadapi tekanan ekonomi yang begitu berat,” tegas Presiden.

Diakui SBY, rencana penyesuaian harga BBM mendapatkan protes dari berbagai kalangan disertai aksi-aksi unjuk rasa di banyak tempat.

“Saya menilai bahwa sering kurang dipahaminya konteks dan alasan mengapa ada pikiran untuk menyesuaikan harga BBM kita,” ujar Presiden.

Lebih lanjut Kepala Negara mengatakan, pemerintah akan terus memikirkan dan mengembangkan sejumlah kebijakan dan upaya khusus dalam mengantisipasi permasalahan menyangkut postur APBN-P 2012, antara lain kebijakan penghematan energi dilakukan secara sangat serius di seluruh Tanah Air, sehingga menjadi gerakan nasional.

Penerimaan negara yang masih bisa dioptimalkan, tambah Presiden, akan dibuat meningkat, misalnya penerimaan dari pajak dan pertambangan.
Penghematan anggaran kementerian/lembaga termasuk anggaran daerah, juga harus benar-benar dilakukan.
“Kita tidak ingin sesuatu yang membikin kokohnya makro ekonomi kita, terganggu manakala kita keliru dalam menetapkan defisit,” tambah SBY. (*)





Episode Kenaikan BBM ke-Sekian
“APBN Turun, Rakyat yang Menanggung?”

Drs. H. M. Jusuf Kalla menjelaskan: “kenaikan yang terjadi pada BBM tidak akan mempengaruhi inflasi terlalu besar. Justru subsidi ini akan dapat dialokasikan untuk kegiatan lainnya : seperti perbaikan infrastruktur dan pemberian modal usaha untuk rakyat. Jika harga BBM tidak dinaikkan, harga BBM yang murah justru akan dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Dulu saat kenaikan terjadi 120 % masyarakat tidak terlalu banyak protes, kenapa sekarang yang hanya 30 % saja sampai terjadi penolakan besar-besaran.”

Statement ini disampaikan oleh Moh. Jusuf Kalla saat mengisi kuliah umum pelantikan lembaga mahasiwa Universitas Diponegoro pada hari selasa, 27 Maret 2012, pukul 10.00 WIB di gedung Soedharto yang bertemakan “Pemuda, Mahasiswa, dan Pembangunan Nasional”. Pernyataan tersebut disampaikan beliau untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang mahasiswa tentang pendapat pribadi Moh. Jusuf Kalla terhadap kebijakan pemerintah tersebut.

Dalam hal ini tercermin bahwa memang berita tentang rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan pada awal april telah menyita perhatian publik secara besar-besaran. Tidak hanya dari elemen masyarakat, tetapi juga dari para elemen mahasiswa yang menyatakan penolakan besar-besaran. Bahkan telah banyak kajian yang dilakukan untuk menganalisis efek positif dan negatif yang akan terjadi dari kebijakan tersebut. Diantaranya yaitu seberapa besar kenaikan nilai APBN jika kenaikan BBM sebesar 30 % tersebut dilakukan. Kemudian apakah sektor yang paling utama mempengaruhi kenaikan anggaran APBN adalah subsidi BBM. Lantas berapa besar pajak yang diterima pemerintah sebagai pemasukan APBN itu sendiri? Berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk melakukan beberapa renovasi sarana wakil rakyat yang sebenarnya itu masih sangat layak digunakan?

Dari penjelasan salah seorang anggota DPR (diluar perannya sebagai politikus salah satu partai) menjelaskan: “Selama ini pemerintah beralasan salah satu penyebab kenaikan harga BBM ialah subsidi BBM untuk rakyat, namun jika menggunakan data dari RAPBN 2012 yang disampaikan pemerintah kepada DPR ternyata ada penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp54 triliun, kemudian pajak perdagangan internasional Rp5 triliun. “Nah, jika kebutuhan subsidi itu maka pemerintah harus tambah Rp55,1 triliun. Maka Rp59 triliun dikurangin Rp55,1 triliun maka itu pun masih surplus sekitar Rp3,9 triliun, itu salah satu contohnya yang tidak disampaikan ke rakyat.” Dari data tersebut terlihat sekali bahwa sebenarnya subsidi BBM bukanlah penyebab utama kenaikan APBN.

Dampak terbesar yang akan terjadi bukanlah terdapat pada mampu atau tidaknya masyarakat untuk membeli BBM sejenis premium, tetapi lebih kepada efek domino yang langsung berimbas pada rakyat kecil. Jika para elit politik mengatakan bahwa kenaikan sebesar RP.1500 itu masih bisa ditanggulangi dengan mengurangi pengeluaran yang tidak penting, lalu apakah para wakil rakyat juga mau berkorban sedikit untuk tidak bermewah-mewahan? Dan lagi-lagi pasti rakyat kecil lah yang notabennya harus mencari sesuap nasi dengan bersusah payah terpaksa menambah pengeluaran sebesar Rp. 1500 tersebut untuk sekedar membeli beras. Kita ingat bahwa “Subsidi merupakan tanggung jawab Negara”. Negara kita bukan kapitalis, tetapi negara Indonesia yang berasaskan pancasila, dimana “kepentingan hajat hidup rakyat banyak harus dibantu dan dipenuhi atau disubsidi negara.” Lantas mengapa harus rakyat kecil yang menanggung dampaknya secara langsung?

Di samping itu, jika kita menyadari akan kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia terhadap minyak bumi sangatlah besar. Akan tetapi pengelolaannya masih dikuasai asing. Dimana keuntungan dari penambangan tersebut hanya mencapai 20 % yang masuk kepada pemerintah. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa kebijakan ini melanggar konstitusi Negara dimana “Bumi dan Sumber Daya Alam lainnya dikuasai pemerintah dan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat”, sudah jelas bahwa kekayaan yang ada di bumi terutama BBM adalah hak rakyat Indonesia untuk menikmatinya. Bukan berarti rakyat kecil yang harus menanggung dampak kenaikan pembengkakan APBN tersebut yang sebenarnya disebabkan oleh sektor lain.
Jika memang pemerintah masih memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan kebijakan tersebut yang jelas-jelas ditolak rakyat, lalu apakah transparansi terkait besaran penurunan APBN serta hasil perhitungan pemerintah terhadap kenaikan APBN dengan mencabut subsidi BBM sudah di jelaskan. Jika masih dalam batas kira-kira, apa iya republik ini akan dijadikan republik kira-kira? Sementara nasib rakyat miskin yang jadi jaminannya?


Lima Penyebab Rencana Kenaikan BBM Kisruh


Keinginan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sedianya awal April kandas. Sidang Paripurna DPR, lembaga yang memberikan persetujuan, menolak untuk mencabut satu pasal yang memuat larangan bagi pemerintah menaikkan harga BBM. Mengapa kisruh?

Hasil rapat hingga menjelang pagi di akhir minggu kemarin itu dikawal aksi mahasiswa bersama masyarakat di banyak kota. Mereka berunjuk rasa menolak kenaikan. Akhirnya, di Gedung DPR, diperoleh langkah kompromi. Satu klausul muncul: jika dalam enam bulan harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen dari harga patokan US$ 105 per barel, pemerintah dipersilakan menaikkan harga.

Kelahiran Ayat 6A dalam Pasal 7 itu menuai kekisruhan baru. Yakni, digugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran dianggap ilegal, sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang menyatakan tidak boleh ada kenaikan BBM. Prosedur kelahirannya juga ikut dipersoalkan.
Di luar itu, yang menarik dan seringkali menjadi pertanyaan, adalah sikap pemerintah dalam mengambil keputusan penting. Sepertinya tidak direncanakan dengan matang, dan cenderung sembrono. Kasus BBM bersubsidi ini dengan jelas memperlihatkan hal itu.

Pertama, tampak pada pengumuman awal. Pemerintah seperti selalu disuarakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo, ingin melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sejak Januari isu ini sudah ramai. Tapi yang resmi diusulkan justru kenaikan. Kebijakan yang ingin diambil sebagai respons atas kenaikan harga minyak mentah dan beban anggaran tidak konsisten.

Kedua, jeda respons kebijakan terkait situasi yang ada - dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah -, biasa disebut inside lag, terlalu lama. Dari Desember (mungkin juga sebelumnya) sudah dikaji, tiga bulan kemudian baru diusulkan. Tragisnya, isu ini 'digoreng' oleh pemerintah, mungkin dengan maksud sosialiasi.
Apapun maksudnya, jelas menibulkan reaksi buruk. Penimbunan marak. Suara menentang, mengingat isu ini sangat seksi, terus terkonsolidasi sampai akhirnya memuncak. Pada situasi yang tidak menguntungkan itu, partai anggota koalisi pendukung pemerintah pun balik badan. Sejatinya kemungkinan ini sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga punya persiapan matang.

Ketiga, penjelasan yang tak lengkap. Kontroversi perhitungan angka subsidi mencuat dari milis ke milis, bahkan menjadi konsumsi media arus utama. Tak ada penjelasan detai dari pemerintah, yang kemudian memunculkan hembusan isu ada 'sesuatu' yang disembunyikan dalam perhitungan.
Ketika Departemen Energi mengklarifikasi lewat situs resminya, angka besaran subsidi dalam versi tersebut Rp 2.400 per liter atau totalnya Rp 96 triliun. Sementara yang diajukan oleh pemerintah Rp 104 triliun. Mungkin hitungan keduanya benar, namun perbedaan angka pada Departemen Energi dan Departemen Keuangan itu justru menambah amunisi penolakan, mengingat adanya informasi yang tidak simetrik atau setara antara pemerintah dengan publik. Di sini, soalnya adalah koordinasi.

Keempat, ada respons panik dan berupaya 'buang bola' ke pihak lain. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah melempar pernyataan bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, pernah mengusulkan kenaikan BBM Rp 2.000 per liter. Sikap ini tidak elegan, tak semestinya hasil rapat pimpinan tertinggi partai koalisi dengan Presiden sampai keluar.
Ini soal etika, yang akhirnya berbuah buruk. Kekisruhan makin menjadi-jadi. Golkar bereaksi dengan pernyataan menolak kenaikan BBM. Peran Ketua Fraksi Demokrat diambil alih Anas Urbaningrum, Ketua Umum. Jafar Hafsah sendiri disitirahatkan di luar 'lapangan'.

Kelima, tampak argumen pemerintah untuk publik tentang rencana kenaikan BBM tidak matang. Suara pendukung kenaikan BBM seragam. Mereka hanya punya satu dalil, yaitu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga BBM subsidi harus naik. Tapi logika setelah itu, tidak begitu baik sampai ke masyarakat.
Boleh jadi pemerintah begitu percaya diri dengan usulannya, setelah ada kesepakatan dengan partai koalisi. Sehingga cenderung meremehkan daya serap masyarakat terhadap informasi yang berkembang. Semestinya ini suatu pelajaran berharga. Rakyat pun bisa jeli dan kritis.
Mungkin dalam kasus mirip ini kelak, tak salah juga jika sekadar mengingat pesan Jenderal Tsun Zu, ahli strategi perang dari China: Jika Anda jauh dari musuh, buatlah musuh percaya bahwa (posisi) Anda begitu dekat dengan mereka.

Minggu, 08 April 2012

Trias Politika


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia dan nikmat bagi umat-Nya. Alhamdulilaah Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ILMU SOSIAL dan POLITIK karena terbatasnya ilmu yang dimiliki oleh penulis maka Makalah ini jauh dari sempurna untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyusunan Makalah ini. Semoga bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada kami mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin
Akhirnya penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.



Jakarta, 6 April 2012



Penulis




PENDAHULUAN

Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.

Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda :
  •      Legislatif, 
  •      Eksekutif,
  •      dan Yudikatif. 
Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.

Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi).

Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan. Contohnya di negeri kita sendiri Indonesia, trias politika bukan dianggap sebagai pemisahan kekuasaan tetapi di laksanakan sebagai pembagian kekuasaan antara eksekutif (presiden), legislative(DPR) dan yudikatif (peradilan).



ISI
1.     SEJARAH TRIAS POLITIKA

Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.
2.     TEORI PARA AHLI :

·         John Locke (1632-1704)

Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)”  dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.  Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?

Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.

Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.

Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.

Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.

Dari pemirian politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.

·         Montesquieu (1689-1755)

Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.

Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan  dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu.
Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).

Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.

Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.


Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional).
Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.

Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.

International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Fungsi-fungsi kekuasaan Federatif
Kekuasaan federatif mempunyai kuasa untuk mengurusi hubungan luar negeri, kekuasaan ini dijabat oleh eksekutif demi kemudahannya. Sedikit Negara di dunia yang memakai kekuasaan federati ini.
3.     PELAKSANAAN TRIAS POLITIKA DI INDONESIA
Konsep trias politika merupakan sebuah konsep Barat. Ia lahir, awalnya, akibat keinginan kaum bangsawan dan pemilik modal di Eropa Barat untuk membatasi kekuasaan raja. Kehendak ini nyata dalam filsafat politik John Locke.

Konsep trias politika yang kini mainstream di dunia adalah yang versi Montesquieu. Indonesia, segera setelah merdeka 17081945, menganut pemisahan kekuasaan ala Montesquieu. Tentu saja ada sedikit perbedaan .

Montesquie menghendaki pemisahan yang zakelijk, ketat. Sementara banyak negara-negara di dunia, utamanya di negara dengan demokrasi yang belum mapan
(seperti Indonesia), trias politika yang berlaku bukan "pemisahan" tetapi "pembagian." Ini yang mengentara di masa Demokrasi Terpimpin Sukarno 1959-1966 dan Demokrasi Pancasila Suharto 1971-1998.

Presiden adalah eksekutif, yang mendistribusikan kekuasaan baik kepada Yudikatif (Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan di bawahnya) serta Legislatif (pengangkatan anggota parlemen). Dengan itu saja, presiden hadir selaku lembaga eksekutif yang superior ketimbang dua lembaga trias politika lainnya.

Indonesia menganut sistem trias politika tetapi tidak murni karena lembaga eksekutif kita tidak hanya semata-mata sebagai pelaksana UU saja, dalam UUD RI 1945 pasal 5 menyatakan Presiden berhak mengajukan undang-undang, namun kekuasaan pembentuk UU ada pada lembaga DPR dan dikaitkan dengan ajaran trias politika murni seharusnya Presiden tidak dapat mencampuri dalam hal pembuatan UU, karena walaupun dalam UUD RI 1945 dimungkinkan presiden untuk mengajukan UU,
 juga Presiden dapat membuat Perpu yang nantinya akan menjadi UU apabila DPR menyetujuinya sebagai UU, dan jika tidak maka Perpu tersebut harus dicabut.

Pasca transisi politik 1998-sekarang, kembali Indonesia ---lewat Demokrasi Liberal--- mencoba kembali ke pemahaman trias politika menurut Montesquieu. Pada intinya, trias politika adalah tradisi politik yang cukup baru bagi sistem politik Indonesia dan terdapat perbedaan antara trias politica yang di teorikan oleh Montesquieu dengan trias politica yang sedang dijalankan oleh indonesia .











KESIMPULAN

Trias Politika = pemisahan kekuasaan ke dalam 3 struktur.
Menurut John Locke struktur tersebut:
1.Legislatif (pembuat undang-undang),
2.Eksekutif (pelaksana undang-undang yaitu raja),
dan 3.Federatif (kuasa hubungan luar negeri, dijabat oleh eksekutif demi kemudahannya.

Menurut Montesquieu:
1.Legislatif (pembuat undang-undang,
2.Eksekutif (pelaksana undang-undang),
dan 3.Yudikatif (pengawas jalannya pelaksanaan negara). Konsep Montesquieu ini banyak berlaku di negara-negara demokrasi saat ini (mainstream).
Di Indonesia , trias politika dijalankan tidak secara murni. Karena jika konsep awal trias politika sendiri adalah pemisahan kekuasaan, tetapi di Indonesia trias politika di laksanakan sebagai pembagian kekuasaan antara eksekutif (presiden), legislative(DPR) dan yudikatif (peradilan) sehingga antara ketiga lembaga tersebut mempunyai hubunan yang erat dalam menjalankan roda pemerintahan.







PENUTUP
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang  membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.



Jakarta, 6 April 2012



Penulis





SUMBER
1)      Dra. Hj Etin Solihatin Mpd. dkk, ilmu negara, Jakarta: laboratorium sosial politik Universitas Negeri Jakarta

2)      Prof. Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, Jakarta : PT. Gramedia

3)      Sumber:apadefenisinya.blogspot.com

4)      http://id.wikipedia.org/wiki/trias_politika