Presiden Anggap Pembahasan Kenaikan BBM
Sangat Politis
Kebijakan
yang dipilih oleh pemerintah salah satunya adalah kebijakan untuk menaikan
harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan
perlindungan kepada masyarakat.
Jakarta–Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai, pandangan dan pembahasan tentang
kemungkinan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat politis. Bahkan,
segala sesuatunya sering dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama
menjelang pemilu 2014.
“Hal
ini sebenarnya tidak salah, tetapi apabila sangat politis dan terlalu politis,
maka pembahasan dan pemikiran bisa kurang objektif dan kurang rasional,” kata
Presiden, dalam keterangan pers seusai memimpin Sidang Kabinet Paripurna di
Kantor Presiden, Jakart, Sabtu, 31 Maret 2012.
Seperti
dikutip dari website setkab.go.id, Sidang Kabinet yang diikuti
oleh seluruh menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Gubernur Bank
Indonesia Darmin Nasution, Panglima TNI Laksama Agus Suhartono, Kapolri Jendral
Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Anggota Wantimpres, dan Staf Khusus
Preside ini membahas keputusan DPR terkait pengesahan APBN-P 2012, yang di
dalamnya memberi ruang bagi Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam
kondisi tertentu.
Menurut
Kepala Negara, tidak pernah ada Presiden dan pemeritahan yang dipimpinnya di
Indonesia, yang menaikan harga BBM tanpa alasan dan pertimbangan yang seksama.
“Sejak
Indonesia merdeka, sejarah mencatat, telah 38 kali kenaikan BBM. Di era
reformasi terjadi 7 kali, termasuk di era Presiden Gus Dur dan era Presiden
Megawati,” kata SBY.
Dalam
era pemerintahan KIB yang dipimpinnya yang telah berjalan hampir 8 tahun ini,
kata Presiden, telah 3 kali terjadi kenaikan harga BBM dan 3 kali pula
penurunan harga BBM.
“Saya
yakin, setiap Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya, menaikan BBM itu
pasti bukan untuk menyengsarakan rakyatnya,” ujar Kepala Negara.
Kebijakan
yang dipilih oleh pemerintah, menurut SBY, salah satunya adalah kebijakan untuk
menaikan harga BBM Plus. Dikatakan plus, karena itu disertai dengan bantuan dan
perlindungan kepada masyarakat.
“Itu
salah satu kebijakan yang mungkin diberlakukan manakala kita menghadapi tekanan
ekonomi yang begitu berat,” tegas Presiden.
Diakui
SBY, rencana penyesuaian harga BBM mendapatkan protes dari berbagai kalangan
disertai aksi-aksi unjuk rasa di banyak tempat.
“Saya
menilai bahwa sering kurang dipahaminya konteks dan alasan mengapa ada pikiran
untuk menyesuaikan harga BBM kita,” ujar Presiden.
Lebih
lanjut Kepala Negara mengatakan, pemerintah akan terus memikirkan dan
mengembangkan sejumlah kebijakan dan upaya khusus dalam mengantisipasi
permasalahan menyangkut postur APBN-P 2012, antara lain kebijakan penghematan
energi dilakukan secara sangat serius di seluruh Tanah Air, sehingga menjadi
gerakan nasional.
Penerimaan
negara yang masih bisa dioptimalkan, tambah Presiden, akan dibuat meningkat,
misalnya penerimaan dari pajak dan pertambangan.
Penghematan anggaran kementerian/lembaga termasuk anggaran daerah, juga harus benar-benar dilakukan.
Penghematan anggaran kementerian/lembaga termasuk anggaran daerah, juga harus benar-benar dilakukan.
“Kita tidak ingin sesuatu yang membikin kokohnya makro
ekonomi kita, terganggu manakala kita keliru dalam menetapkan defisit,” tambah
SBY. (*)
Episode Kenaikan
BBM ke-Sekian
“APBN
Turun, Rakyat yang Menanggung?”
Drs.
H. M. Jusuf Kalla menjelaskan: “kenaikan yang terjadi pada BBM tidak akan mempengaruhi
inflasi terlalu besar. Justru subsidi ini akan dapat dialokasikan untuk
kegiatan lainnya : seperti perbaikan infrastruktur dan pemberian modal usaha
untuk rakyat. Jika harga BBM tidak dinaikkan, harga BBM yang murah justru akan
dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Dulu saat kenaikan terjadi
120 % masyarakat tidak terlalu banyak protes, kenapa sekarang yang hanya 30 %
saja sampai terjadi penolakan besar-besaran.”
Statement
ini disampaikan oleh Moh. Jusuf Kalla saat mengisi kuliah umum pelantikan
lembaga mahasiwa Universitas Diponegoro pada hari selasa, 27 Maret 2012, pukul
10.00 WIB di gedung Soedharto yang bertemakan “Pemuda, Mahasiswa, dan
Pembangunan Nasional”. Pernyataan tersebut disampaikan beliau untuk menjawab
pertanyaan dari salah seorang mahasiswa tentang pendapat pribadi Moh. Jusuf
Kalla terhadap kebijakan pemerintah tersebut.
Dalam
hal ini tercermin bahwa memang berita tentang rencana kenaikan BBM yang akan
dilakukan pada awal april telah menyita perhatian publik secara besar-besaran.
Tidak hanya dari elemen masyarakat, tetapi juga dari para elemen mahasiswa yang
menyatakan penolakan besar-besaran. Bahkan telah banyak kajian yang dilakukan
untuk menganalisis efek positif dan negatif yang akan terjadi dari kebijakan
tersebut. Diantaranya yaitu seberapa besar kenaikan nilai APBN jika kenaikan
BBM sebesar 30 % tersebut dilakukan. Kemudian apakah sektor yang paling utama
mempengaruhi kenaikan anggaran APBN adalah subsidi BBM. Lantas berapa besar
pajak yang diterima pemerintah sebagai pemasukan APBN itu sendiri? Berapa besar
anggaran yang dialokasikan untuk melakukan beberapa renovasi sarana wakil
rakyat yang sebenarnya itu masih sangat layak digunakan?
Dari
penjelasan salah seorang anggota DPR (diluar perannya sebagai politikus salah
satu partai) menjelaskan: “Selama ini pemerintah beralasan salah satu penyebab
kenaikan harga BBM ialah subsidi BBM untuk rakyat, namun jika menggunakan data
dari RAPBN 2012 yang disampaikan pemerintah kepada DPR ternyata ada penerimaan
negara bukan pajak sekitar Rp54 triliun, kemudian pajak perdagangan
internasional Rp5 triliun. “Nah, jika kebutuhan subsidi itu maka pemerintah
harus tambah Rp55,1 triliun. Maka Rp59 triliun dikurangin Rp55,1 triliun maka
itu pun masih surplus sekitar Rp3,9 triliun, itu salah satu contohnya yang
tidak disampaikan ke rakyat.” Dari data tersebut terlihat sekali bahwa
sebenarnya subsidi BBM bukanlah penyebab utama kenaikan APBN.
Dampak
terbesar yang akan terjadi bukanlah terdapat pada mampu atau tidaknya
masyarakat untuk membeli BBM sejenis premium, tetapi lebih kepada efek domino
yang langsung berimbas pada rakyat kecil. Jika para elit politik mengatakan
bahwa kenaikan sebesar RP.1500 itu masih bisa ditanggulangi dengan mengurangi
pengeluaran yang tidak penting, lalu apakah para wakil rakyat juga mau
berkorban sedikit untuk tidak bermewah-mewahan? Dan lagi-lagi pasti rakyat
kecil lah yang notabennya harus mencari sesuap nasi dengan bersusah payah
terpaksa menambah pengeluaran sebesar Rp. 1500 tersebut untuk sekedar membeli
beras. Kita ingat bahwa “Subsidi merupakan tanggung jawab Negara”. Negara kita
bukan kapitalis, tetapi negara Indonesia yang berasaskan pancasila, dimana
“kepentingan hajat hidup rakyat banyak harus dibantu dan dipenuhi atau
disubsidi negara.” Lantas mengapa harus rakyat kecil yang menanggung dampaknya
secara langsung?
Di
samping itu, jika kita menyadari akan kekayaan potensi sumber daya alam
Indonesia terhadap minyak bumi sangatlah besar. Akan tetapi pengelolaannya
masih dikuasai asing. Dimana keuntungan dari penambangan tersebut hanya
mencapai 20 % yang masuk kepada pemerintah. Dari kondisi tersebut terlihat
bahwa kebijakan ini melanggar konstitusi Negara dimana “Bumi dan Sumber Daya
Alam lainnya dikuasai pemerintah dan dipergunakan untuk kesejahteraan
masyarakat”, sudah jelas bahwa kekayaan yang ada di bumi terutama BBM adalah
hak rakyat Indonesia untuk menikmatinya. Bukan berarti rakyat kecil yang harus
menanggung dampak kenaikan pembengkakan APBN tersebut yang sebenarnya
disebabkan oleh sektor lain.
Jika
memang pemerintah masih memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan kebijakan
tersebut yang jelas-jelas ditolak rakyat, lalu apakah transparansi terkait
besaran penurunan APBN serta hasil perhitungan pemerintah terhadap kenaikan
APBN dengan mencabut subsidi BBM sudah di jelaskan. Jika masih dalam batas
kira-kira, apa iya republik ini akan dijadikan republik kira-kira? Sementara
nasib rakyat miskin yang jadi jaminannya?
Lima
Penyebab Rencana Kenaikan BBM Kisruh
Keinginan pemerintah
menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sedianya awal April kandas.
Sidang Paripurna DPR, lembaga yang memberikan persetujuan, menolak untuk
mencabut satu pasal yang memuat larangan bagi pemerintah menaikkan harga BBM.
Mengapa kisruh?
Hasil rapat hingga
menjelang pagi di akhir minggu kemarin itu dikawal aksi mahasiswa bersama
masyarakat di banyak kota. Mereka berunjuk rasa menolak kenaikan. Akhirnya, di
Gedung DPR, diperoleh langkah kompromi. Satu klausul muncul: jika dalam enam
bulan harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen dari harga patokan US$
105 per barel, pemerintah dipersilakan menaikkan harga.
Kelahiran Ayat 6A
dalam Pasal 7 itu menuai kekisruhan baru. Yakni, digugat ke Mahkamah Konstitusi
lantaran dianggap ilegal, sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang
menyatakan tidak boleh ada kenaikan BBM. Prosedur kelahirannya juga ikut
dipersoalkan.
Di luar itu, yang menarik dan seringkali
menjadi pertanyaan, adalah sikap pemerintah dalam mengambil keputusan penting.
Sepertinya tidak direncanakan dengan matang, dan cenderung sembrono. Kasus BBM
bersubsidi ini dengan jelas memperlihatkan hal itu.
Pertama, tampak pada
pengumuman awal. Pemerintah seperti selalu disuarakan Wakil Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo, ingin melakukan pembatasan BBM
bersubsidi. Sejak Januari isu ini sudah ramai. Tapi yang resmi diusulkan justru
kenaikan. Kebijakan yang ingin diambil sebagai respons atas kenaikan harga
minyak mentah dan beban anggaran tidak konsisten.
Kedua, jeda respons
kebijakan terkait situasi yang ada - dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah
-, biasa disebut inside lag, terlalu lama. Dari Desember (mungkin juga
sebelumnya) sudah dikaji, tiga bulan kemudian baru diusulkan. Tragisnya, isu
ini 'digoreng' oleh pemerintah, mungkin dengan maksud sosialiasi.
Apapun maksudnya, jelas menibulkan reaksi
buruk. Penimbunan marak. Suara menentang, mengingat isu ini sangat seksi, terus
terkonsolidasi sampai akhirnya memuncak. Pada situasi yang tidak menguntungkan
itu, partai anggota koalisi pendukung pemerintah pun balik badan. Sejatinya
kemungkinan ini sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga punya
persiapan matang.
Ketiga, penjelasan
yang tak lengkap. Kontroversi perhitungan angka subsidi mencuat dari milis ke
milis, bahkan menjadi konsumsi media arus utama. Tak ada penjelasan detai dari
pemerintah, yang kemudian memunculkan hembusan isu ada 'sesuatu' yang
disembunyikan dalam perhitungan.
Ketika Departemen Energi mengklarifikasi lewat
situs resminya, angka besaran subsidi dalam versi tersebut Rp 2.400 per liter
atau totalnya Rp 96 triliun. Sementara yang diajukan oleh pemerintah Rp 104
triliun. Mungkin hitungan keduanya benar, namun perbedaan angka pada Departemen
Energi dan Departemen Keuangan itu justru menambah amunisi penolakan, mengingat
adanya informasi yang tidak simetrik atau setara antara pemerintah dengan
publik. Di sini, soalnya adalah koordinasi.
Keempat, ada respons
panik dan berupaya 'buang bola' ke pihak lain. Ketua Fraksi Partai Demokrat,
Jafar Hafsah melempar pernyataan bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal
Bakrie, pernah mengusulkan kenaikan BBM Rp 2.000 per liter. Sikap ini tidak
elegan, tak semestinya hasil rapat pimpinan tertinggi partai koalisi dengan
Presiden sampai keluar.
Ini soal etika, yang akhirnya berbuah buruk.
Kekisruhan makin menjadi-jadi. Golkar bereaksi dengan pernyataan menolak
kenaikan BBM. Peran Ketua Fraksi Demokrat diambil alih Anas Urbaningrum, Ketua
Umum. Jafar Hafsah sendiri disitirahatkan di luar 'lapangan'.
Kelima, tampak argumen
pemerintah untuk publik tentang rencana kenaikan BBM tidak matang. Suara
pendukung kenaikan BBM seragam. Mereka hanya punya satu dalil, yaitu akibat
kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga BBM subsidi harus naik. Tapi
logika setelah itu, tidak begitu baik sampai ke masyarakat.
Boleh jadi pemerintah begitu percaya diri
dengan usulannya, setelah ada kesepakatan dengan partai koalisi. Sehingga
cenderung meremehkan daya serap masyarakat terhadap informasi yang berkembang.
Semestinya ini suatu pelajaran berharga. Rakyat pun bisa jeli dan kritis.
Mungkin dalam kasus mirip ini kelak, tak salah
juga jika sekadar mengingat pesan Jenderal Tsun Zu, ahli strategi perang dari
China: Jika Anda jauh dari musuh, buatlah musuh percaya bahwa (posisi) Anda
begitu dekat dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar